Wednesday, 20 March 2013

Fenomena BBM Part 2 (Mengatasi Pengecer)


Berbicara masalah fenomena yang ada di Indonesia tidak ada habisnya, mulai dari fenomena alam, potret pejabat negeri, higga potret masyarakat. Hal yang wajar jika Indonesia tergolong Negara yang kaya, kaya akan fenomena. Kali ini saya akan kembali berbicara masalah fenomena yang ada di Indonesia, tidak jauh dari permasalahan mendasara negeri kita, yaitu permasalahan “ekonomi”.




Seperti yang kita ketahui, fenomena BBM tidak kunjung normal apalagi teratasi, terlebih didaerah Kalimantan Selatan. Seiring isu terkait pengurang jatah BBM hingga kenaikan harga BBM, SPBU2 diramaikan bak pasar oleh pelangsir yang memanfaatkan suasana. Sebelumnya hingga sekarang bawang menjadi primadona, dengan melonjaknya harga di pasaran yang mencapai kenaikan hingga 600%. Kondisi ini tidak serta merta menguntungkan pihak utama, yaitu petani. Mereka tetap saja merasakan hal yang sama seperti sebelumnya. lantas siapa yang diuntungkan dari fenomena ini? Rakyat? Sudah tentu bukan.

Kembali ke permasalahan BBM, akhir-akhir ini antrean di SPBU Kalimantan Selatan mengalami peningkatan pengantre atau pelangsir. Kendaraan dengan tangki bensin yang lebih besar mendominasi antrean tersebut, yang sebelumnya truk tidak putus-putus berjejer di SPBU2. Hal ini tentunya kembali membuat resah sebagian masyarakat yang membutuhkan BBM, mengingat harga eceran yang mahal.

Selanjutnya, saya melihat berita di harian B.Post edisi selasa, 19 maret 2013 hal 17, disebutkan bahwa pelangsir  BBM di Tabalong tuntut keadilan, mereka datang ke DPRD dan sekarang ke Kantor Bupati untuk menuntut keadilan, yaitu mencabut pembatasan pembelian premium yang diberlakukan di SPBU, lantas keadilan untuk siapa yang mereka perjuangkan? Selanjutnya di halaman 19, ada yang mengususlkan BBM khusus pengecer atau pengecer harus memiliki ijin dari Pemkab, seolah-olah melangsir menjadi usaha sebagian masyarakat yang perlu dilegalkan. Memang tidak salah jika sebagian orang menjual bensin secara eceran, namun jejeran eceran bensin di sepanjang jalan khususnya di kota besar, wajarkah hal demikian?

Apa yang terjadi? Memang kalau kita cermati, para pengecer menggantungkan hidupnya di sana. Namun bagaimana dengan masyarakat lainnya? Haruskah membeli bensin dengan harga yang mahal? Kita juga sama-sama membutuhkannya untuk beraktivitas dan menggantungkan kehidupan. “Ekonomi” itulah alasan pamungkas yang membuat fenomena ini terjadi.

Hal tersebut tidak akan terjadi jika kita saling memahami kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Selain itu, pihak keamanan juga harus bertindak sigap, jangan sampai kejadian beberpa waktu lalu, antrean di SPBU mencapai kiloan meter, harga eceran meroket, baru bertindak. Cegahlah sebelum terjadi hal serupa, sehingga kita dapat menikmati hak kita bersama, pelangsir dan pengkonsumsi sama-sama memerlukan BBM untuk beraktivitas dan memenuhi kebutuhan ekonomi.



Selanjutnya, masalah pelangsir sangat sulit untuk dihilangkan atau dikurangi, jika alasannya menyangkut “ekonomi” tersebut. Namun hal ini tentunya ada jalan keluar bersama, seperti tempat khusus bagi pelangsir di SPBU dengan kartu anggota, dan yang paling penting penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang tidak lebih dari Rp. 5000,-/liter. Artinya harga eceran dengan tidak, selisih harganya tidak terlalu jauh. Dengan begitu saya yakin masyarakat akan lebih kretif untuk memilih dan melakukan usaha yang lebih baik, selain menjadi pelangsir atau penjual premium eceran.

Semoga bermanfaat, dan dapat menjadi pelajaran kita bersama.

No comments:

Post a Comment