Berbicara masalah fenomena yang
ada di Indonesia tidak ada habisnya, mulai dari fenomena alam, potret pejabat
negeri, higga potret masyarakat. Hal yang wajar jika Indonesia tergolong Negara
yang kaya, kaya akan fenomena. Kali ini saya akan kembali berbicara masalah
fenomena yang ada di Indonesia, tidak jauh dari permasalahan mendasara negeri
kita, yaitu permasalahan “ekonomi”.
Seperti yang kita ketahui,
fenomena BBM tidak kunjung normal apalagi teratasi, terlebih didaerah Kalimantan
Selatan. Seiring isu terkait pengurang jatah BBM hingga kenaikan harga BBM,
SPBU2 diramaikan bak pasar oleh pelangsir yang memanfaatkan suasana. Sebelumnya
hingga sekarang bawang menjadi primadona, dengan melonjaknya harga di pasaran
yang mencapai kenaikan hingga 600%. Kondisi ini tidak serta merta menguntungkan
pihak utama, yaitu petani. Mereka tetap saja merasakan hal yang sama seperti
sebelumnya. lantas siapa yang diuntungkan dari fenomena ini? Rakyat? Sudah
tentu bukan.
Kembali ke permasalahan BBM,
akhir-akhir ini antrean di SPBU Kalimantan Selatan mengalami peningkatan
pengantre atau pelangsir. Kendaraan dengan tangki bensin yang lebih besar
mendominasi antrean tersebut, yang sebelumnya truk tidak putus-putus berjejer
di SPBU2. Hal ini tentunya kembali membuat resah sebagian masyarakat yang
membutuhkan BBM, mengingat harga eceran yang mahal.
Selanjutnya, saya melihat berita di harian
B.Post edisi selasa, 19 maret 2013 hal 17, disebutkan bahwa pelangsir BBM di Tabalong tuntut keadilan, mereka
datang ke DPRD dan sekarang ke Kantor Bupati untuk menuntut keadilan, yaitu mencabut
pembatasan pembelian premium yang diberlakukan di SPBU, lantas keadilan untuk
siapa yang mereka perjuangkan? Selanjutnya di halaman 19, ada yang mengususlkan
BBM khusus pengecer atau pengecer harus memiliki ijin dari Pemkab, seolah-olah
melangsir menjadi usaha sebagian masyarakat yang perlu dilegalkan. Memang tidak
salah jika sebagian orang menjual bensin secara eceran, namun jejeran eceran
bensin di sepanjang jalan khususnya di kota besar, wajarkah hal demikian?
Apa yang terjadi? Memang kalau
kita cermati, para pengecer menggantungkan hidupnya di sana. Namun bagaimana
dengan masyarakat lainnya? Haruskah membeli bensin dengan harga yang mahal?
Kita juga sama-sama membutuhkannya untuk beraktivitas dan menggantungkan
kehidupan. “Ekonomi” itulah alasan pamungkas yang membuat fenomena ini terjadi.
Hal tersebut tidak akan terjadi
jika kita saling memahami kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Selain itu,
pihak keamanan juga harus bertindak sigap, jangan sampai kejadian beberpa waktu
lalu, antrean di SPBU mencapai kiloan meter, harga eceran meroket, baru
bertindak. Cegahlah sebelum terjadi hal serupa, sehingga kita dapat menikmati
hak kita bersama, pelangsir dan pengkonsumsi sama-sama memerlukan BBM untuk
beraktivitas dan memenuhi kebutuhan ekonomi.
Selanjutnya, masalah pelangsir
sangat sulit untuk dihilangkan atau dikurangi, jika alasannya menyangkut
“ekonomi” tersebut. Namun hal ini tentunya ada jalan keluar bersama, seperti
tempat khusus bagi pelangsir di SPBU dengan kartu anggota, dan yang paling
penting penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), yang tidak lebih dari Rp.
5000,-/liter. Artinya harga eceran dengan tidak, selisih harganya tidak terlalu
jauh. Dengan begitu saya yakin masyarakat akan lebih kretif untuk memilih dan
melakukan usaha yang lebih baik, selain menjadi pelangsir atau penjual premium
eceran.
Semoga bermanfaat, dan dapat
menjadi pelajaran kita bersama.
No comments:
Post a Comment